a.Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan
pengetahuan (knowledge atau dapat juga disebut common sense). Orang awam
tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda
dengan pengetahuan. Bahkan mugkin mereka menyamakan dua pengertian
tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan akan
dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau
membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas
pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu
kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan
mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat
ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam
suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan
mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan)
yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat
berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita
membahas hakekat ilmu pengetahuan dan perbedaannya dengan pengetahuan,
terlebih dahulu akan dikemukakan serba sedikit tentang sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting, karena dengan
mempelajari hal tersebut kita dapat mengetahui tahap-tahap
perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu saja,
tetapi melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode
perkembangan.
a) Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum
Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu
pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum
Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke
persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh
persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian
misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan
dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya
persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi
mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis,
mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar
(eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari
faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis
dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat.
Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah,
tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi
Aristoteles tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis
atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis,
dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang
riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi,
dan ada hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang
mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai
struktur ontologis. Dalam struktur terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt:
menunjukkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi: menunjukkan
prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda sempurna
dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan
lain. Perubahan terjadi bila potensi berubah, dan perubahan tersebut
direalisasikan.
Gambar 8 : Aristoteles
Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1) Hal Pengenalan
Menurut Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu:
(1) pengenalan inderawi; (2) pengenalan rasional. Menurut Aristoteles,
pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit
dari suatu benda. Sedang pengenalan rasional dapat mencapai hakekat
sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2) Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan
tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal
atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi
(reasoning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan”
berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan”
(teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas
teori dan metode. Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk
mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif
yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum (pengetahuan universal); (2)
deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju
fakta-fakta.
b) Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)
Pada periode yang kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan karena
adanya perombakan total dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut
adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya bersifat ontologis rasional,
Gallileo Gallilei (tokoh pada awal abad 17 sesudah Masehi) cara
berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam bentuk kuantitatif
atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah Aristoteles
adalah berpikir tentang hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang
berada di balik yang nampak atau apa yang berada di balik fenomena).
Gambar 9 : Gallileo Gallilei
Abad 17 meninggalkan cara berpikir metafisi dan beralih ke elemen-elemen
yang terdapat pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat.
Dengan demikian bukan substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan
kesatuan sistem. Cara berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu model yaitu
memasukkan unsur makro menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang
dapat diuji coba secara empiris, sehingga memerlukan adanya
laboratorium. Uji coba penting, untuk itu harus membuat eksperimen. Ini
berarti mempergunakan pendekatan matematis dan pendekatan eksperimental.
Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu pengetahuan bersifat
ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak pada
prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly and
distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak lain
berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat
dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal,
yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena aku berpikir maka aku ada.
Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir
bukan merupakan khayalan. Suatu yang pasti adalah jelas dan
terpilah-pilah. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan
hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan rasio (dalam Hadiwijono,
1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera (mata, telinga,
hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur, karena ini
sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti
menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita
ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes
dikemukakan melalui keragu-raguan. Keragu-raguan menimbulkan kesadaran,
kesadaran ini berada di samping materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu
pihak berpikir pada kesadaran dan pihak lain berpijak pada materi juga
dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Immanuel
Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman terhadap fakta,
tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Gambar 10 : Rene Descartes
Agar dapat memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih
dahulu mengenal pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme
mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur
yang terlepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan
unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari
pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik rasionalisme maupun empirisme
dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan
manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori
dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu
Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada
objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan
hasil pengalaman, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan
Aristoteles yang bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain
yang meninggalkan pandangan Aristoteles, namun dalam makalah ini cukup
mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk menggambarkan adanya
pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan
Terdapat beberapa definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan adalah penguasaan lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b) Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang dunia material.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat materi.
c) Ilmu pengetahuan adalah definisi eksperimental.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak hanya
hasil/metode eksperimental semata, tetapi juga hasil pengamatan,
wawancara. Atau dapat dikatakan definisi ini tidak memberikan tali
pengikat yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen dan hasil
pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan dapat sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris.
Definisi mempergunakan metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip
umum berdasarkan berbagai hasil pengamatan. Definisi ini memberikan
tempat adanya hipotesa, sebagai ramalan akan hasil pengamatan yang akan
datang. Definisi ini juga mengakui pentingnya pemikiran spekulatif atau
metafisik selama ada kesesuaian dengan hasil pengamatan. Namun demikian,
definisi ini tidak bersifat hitam atau putih. Definisi ini tidak
memberi tempat pada pengujian pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya
berdasarkan kesimpulan logis berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal
sehat. Apabila kesimpulan tersebut hanya merupakan akal sehat, walaupun
itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap belum dapat dikatakan sebagai
ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf pengetahuan. Ilmu pengetahuan
bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari hasil pengamatan, namun
haruslah merupakan kerangka konseptual atau teori yang memberi tempat
bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli lain dalam
bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini berarti
terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli terhadap kerangka
konseptual yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah
dilakukan penelitian akan percobaan terhadap kerangka konseptual
tersebut.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis
ekstrim, maupun yang bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak.
Pandangan yang bersifat statis ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
merupakan cara menjelaskan alam semesta di mana kita hidup. Ini berarti
ilmu pengetahuan dianggap sebagai pabrik pengetahuan. Sementara
pandangan yang bersifat dinamis ekstrim menyatakan ilmu pengetahuan
merupakan kegiatan yang menjadi dasar munculnya kegiatan lebih lanjut.
Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu laboratorium. Bila
kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu pengetahuan akan
hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut ditutup.
Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau
kegiatan yang dapat dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi
merupakan teori, prinsip, atau dalil yang berguna bagi pengembangan
teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan kata lain untuk
menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang
saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan
pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam
Qadir C.A., 1995). Pengertian percobaan di sini adalah pengkajian atau
pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan
penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan
(eksperimen).
Selanjutnya John Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi
tekanan pada makna manfaat, mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna
penemuan eksperimen baru atau juga penemuan penelitian baru (menurut
penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan
lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak
dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan
yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang bersinambungan (Ziman J.
dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi
ilmu pengetahuan di atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan
percobaan baru, berarti juga menghasilkan penelitian baru yang pada
gilirannya menghasilkan teori baru dan seterusnya – berlangsung tanpa
berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak menekankan penerapannya?
Seperti yang dilakukan para ahli fisika dan kimia yang hanya menekankan
pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam semesta
dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi penekanan ilmu
pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu
pengetahuan itu akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu
pengetahuan tidak berorientasi pada penerapannya melainkan pada
kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru atau penelitian baru, dan
pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli fisika dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya
bukan merupakan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common
sense). Selanjutnya untuk membedakan hasil akal sehat dengan ilmu
pengetahuan William James yang menyatakan hasil akal sehat adalah sistem
perseptual, sedang hasil ilmu pengetahuan adalah sistem konseptual
(Conant J. B. dalam Qadir C. A., 1995). Kemudian bagaimana cara untuk
memantapkan atau mengembangkan ilmu pengetahuan? Berdasarkan definisi
ilmu pengetahuan tersebut di atas maka pemantapan dilakukan dengan
penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang
menghasilkan perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual.
Jawabannya adalah akal sehat yang menghasilkan pengetahuan merupakan
premis bagi pengetahuan eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A.,
1995). Ini berarti pengetahuan merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan,
masukan tersebut selanjutnya diterima sebagai masalah untuk diteliti
lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk teori baru.
Sedangkan Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu pengetahuan (science).
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dalam common sense informasi tentang suatu fakta jarang disertai
penjelasan tentang mengapa dan bagaimana. Common sense tidak melakukan
pengujian kritis hubungan sebab-akibat antara fakta yang satu dengan
fakta lain. Sedang dalam science di samping diperlukan uraian yang
sistematik, juga dapat dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga dapat
dilakukan pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan
prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2) Ilmu pengetahuan menekankan ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang
mendasar dan berlaku umum tentang suatu hal. Artinya dengan berpedoman
pada teori-teori yang dihasilkan dalam penelitian-penelitian terdahulu,
penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan teori yang telah ada yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common sense tidak
memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari berbagai fakta
yang terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara pengumpulan data
bersifat subjektif, karena common sense sarat dengan muatan-muatan
emosi dan perasaan.
3) Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan, ilmu pengetahuan menjadikan
konflik sebagai pendorong untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola
eksplanasi sistematik sejumlah fakta untuk mempertegas aturan-aturan.
Dengan menunjukkan hubungan logis dari proposisi yang satu dengan
lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4) Kebenaran yang diakui oleh common sense bersifat tetap, sedang
kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik oleh pengujian kritis.
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada pengujian
melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat diperbaharui
atau diganti.
5) Perbedaan selanjutnya terletak pada segi bahasa yang digunakan untuk
memberikan penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense
biasanya mengandung pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu
pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang harus dapat
diverifikasi secara empirik.
6) Perbedaan yang mendasar terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah. Dalam ilmu pengetahuan
alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah metoda pengamatan,
eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial dan budaya
juga menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen, generalisasi,
dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapatkan pengetahuan hanya
melalui pengamatan dengan panca indera.
Gambar 11 : Ernest Nagel
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh tersebut
dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual atau
teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian
secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang
yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena
tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh
orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak
objektif serta tidak universal.
d. Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan
a) Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Agar dapat diuraikan proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah, perlu
terlebih dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan
(Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1998/1999,
ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori
tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga
hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat
universal, dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang
lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan tersebut telah
diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan Parsudi Suparlan yang
menyatakan bahwa Metode Ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi
terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa penelitian
ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan
penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif
(Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah
harus sestematik dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu
kerangka bagi terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa
ilmu pengetahuan juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan bagian utama dari metode ilmiah.
Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara mengorganisasikan dan
menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan
hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi peranan metode
ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu
dan tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi
corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut
di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan
ilmiah melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian
ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada dasarnya merupakan bagian yang
penting dari metode ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan ilmiah menyajikan
cara-cara pengorganisasian dan penginterpretasian hasil-hasil
penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang
dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan
ilmiah merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini
peranan metode ilmiah penting yaitu menghubungkan
pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda.
Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan
metode induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus,
dalam rangka penelitian, penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam
ilmu-ilmu sosial, baik metode induktif maupun deduktif sama-sama
penting. Walaupun fakta-fakta empirik itu penting peranannya dalam
metode ilmiah namun kumpulan fakta itu sendiri tidak menciptakan teori
atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994). Jadi jelaslah bahwa ilmu
pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau kumpulan
fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena
fakta-fakta empirik itu sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta
tersebut harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi
berdasarkan metode yang berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu
dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas merupakan prinsip utama
dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu sosial berhubungan
dengan kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya sehingga tidak
terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti dengan
pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif yaitu membebaskan dirinya dari sikap,
keinginan, kecenderungan untuk menolak, atau menyukai data yang
dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap netral, yaitu dalam melakukan penilaian
terhadap hasil penemuannya harus terbebas dari nilai-nilai budayanya
sendiri. Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas data yang
dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan
kebenaran universal (Suparalan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a) Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya.
b) Definisi-definisi yang dibuat adalah benar dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku.
c) Pengumpulan data dilakukan secara objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode penelitian ilmiah yang baku.
d) Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan ulang oleh peneliti lain bila
sasaran, masalah, pendekatan, dan prosedur penelitiannya sama (Suparlan
P., 1994).
b) Metode Penelitian Ilmiah
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah untuk ilmu-ilmu sosial dapat
dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu: (1) pendekatan
kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1) Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif adalah filsafat
positivisme yang dikembangkan pertama kali oleh Emile Durkheim (1964).
Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa tindakan-tindakan
manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta
sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif,
yaitu dengan memandangnya sebagai benda, seperti benda dalam ilmu
pengetahuan alam.
Gambar 12 : Emile Durkheim
Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati sesuatu fakta sosial,
untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan
fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan
suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data
kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan pengguna
model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan P.,
1997).
2) Pendekatan Kualitatif
Landasan berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max Weber
(1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya
gejala-gejala sosial, tetapi juga dan terutama makna-makna yang terdapat
di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya
gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama dalam
sosiologi dari Max Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan
Erklaren atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam
suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai
pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku yang
ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai
makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya
(Suparlan P., 1997).