Minggu, 31 Januari 2016

Perbedaan Dasar Retorika, Dialektika dan Elocutio

By Unknown | At 05.36 | Label : | 0 Comments

 Massappa Paddisengeng,Perbedaan Dasar Retorika, Dialektika dan Elocutio - baika kali ini massappa paddisengeng akan berbagi mengenai perbedaan dasar Retorika,Dialektika dan Elocutio,berikut ulasannya:

PENGERTIAN RETORIKA
Pengertian pokok dari retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (memberikan informasi atau memberikan motivasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Berikut disampaikan uraian mengenai retorika diantaranya:

1.             Arti Retorika

Retorika, Dialektika dan Elocutio
Secara etimologis, retorika berasal dari bahasa Yunani, “rhetrike” yang berarti seni kemampuan berbicara yang dimiliki seseorang. Aristoteles dalam bukunya “Rhetoric” mengemukakan pengertian retorika, yaitu kemampuan untuk memilih dan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu secara efektif untuk mempersuasi orang lain. Sedangkan menurut Gorys Keraf, retorika adalah suatu istilah secara tradisional yang diberikan pada suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik. Menurut P. Dori Wuwur Hendrikus, retorika adalah kesenian untuk berbicara baik yang digunakan dalam proses komunikasi antarmanusia.

Retorika berarti kesenian untuk berbicara dengan baik (kunst, gut zu reden atau ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat, dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan mengesankan.

Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara dapat dengan mencontoh para rektor yang terkenal (imitatio), dengan mempelajari dan mempergunakan hukum-hukum retorika (doctrina), dan dengan melakukan latihan yang teratur (exercitium). Dalam seni berbicara juga dituntut penguasaan bahan (res) dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa (verba).



2.             Retorika, Dialektika dan Elocutio

Retorika, Dialektika dan Elocutio
Ilmu retorika juga berhubungan erat dengan dialektika yang sudah berkembang sejak zaman Yunani kuno. Dialektika adalah metode untuk mencari kebenaran lewat diskusi dan debat. Melalui dialektika orang dapat mengenal dan menyelami suatu masalah (intellectio), mengemukakan argumentasi (inventio) dan menyusun jalan pikiran secara logis (dispositio). Retorika mempunyai hubungan dengan dialektika karena debat dan diskusi juga merupakan bagian dari ilmu retorika.

Elocutio berarti kelancaran berbicara. Dalam retorika kelancaran berbicara sangat dituntut. Elocutio menjadi prasyarat kepandaian berbicara. Oleh karena itu, retorika juga berhubungan erat dengan elocutio.



APAKAH RETORIKA DAPAT DIPELAJARI?

Sebuah pepatah bahasa latin berbunyi: “Poeta nascitur, orator fit.” Artinya, “seorang penyair dilahirkan, tetapi seorang ahli pidato dibina”. Sejak dua ribu tahun terbukti bahwa banyak orang menjadi ahli pidato, karena mereka mempelajari teknik berbicara dan berpidato serta tekun melakukan latihan berbicara juga berpidato. Berikut terdapat dua contoh dalam sejarah yaitu:

1.             Demosthenes (384 - 322)

Demosthenes dari lahir memiliki kekurangan dalam berbicara. Dalam mengatasi itu, dia pergi ke pantai laut, menaruh kerikil dalam mulutnya, dan berusaha berbicara dengan ucapan yang jelas dan dengan suara yang sekuat mungkin untuk bisa mengatasi gemuruh hempasan ombak, dan usahanya ini berhasil. Demosthenes akhirnya menjadi seorang ahli pidato dalam Kerajaan Yunani Kuno.



2.             Winston Churchill (1874 - 1965)

Untuk bisa berpidato di depan Parlemen Inggris. Winston Churchill berhari–hari dia mencoba membuat latihan membaca dan berpidato. Dia mempersiapkan diri secara intensif. Beberapa bagian penting dari pidatonya malah dihafalkan. Usaha yang tekun ini akhirnya menjadikannya seorang ahli pidato terkenal.



Orang-orang yang bersifat introver dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa. Introver adalah bersifat suka memendam rasa dan pikiran sendiri dan tidak mengutarakannya kepada orang lain (bersifat tertutup). Dalam mempelajari retorika lebih mudah bagi mereka yang ekstover, tetapi tetap saja keberhasilan seni berbicara tergantung dari usaha untuk mengembangkan kemampuan dengan optimal. Terus latihan untuk berbicara akan merubah gaya berbicara seseorang. Oleh karena itu, seni berbicara dapat dikuasai dan ilmu retorika juga dapat dipelajari.



  PEMBAGIAN RETORIKA

Retorika adalah bagian dari ilmu bahasa, khususnya ilmu bina bicara (sprecherziehung). Retorika sebagai bagian dari ilmu bina bicara ini mencakup:

1.             Monologika

Monologika adalah ilmu tentang seni berbicara secara monolog, dimana hanya seorang yang berbicara. Bentuk-bentuk yang tergolong dalam monologika adalah pidato, kata sambutan, kuliah, makalah, ceramah dan deklamasi.



2.             Dialogika

Dialogika adalah ilmu tentang seni berbicara secara dialog, dimana dua orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan. Bentuk dialogika yang penting adalah diskusi, tanya jawab, perundingan, percakapan dan debat.



3.             Pembinaan Teknik Bicara

Efektivitas monologika dan dialogika tergantung juga pada teknik bicara. Teknik bicara merupakan syarat bagi retorika. Oleh karena itu, pembinaan teknik bicara merupakan bagian yang penting dalam retorika. Dalam bagian ini perhatian lebih diarahkan pada pembinaan teknik bernafas, teknik mengucap, bina suara, teknik membaca dan bercerita.
Dari beberapa ulasan di atas, apapun defenisi dan siapapun yang mengemukakannya semua mengacu dan memberi penekanan kepada kemampuan menggunakan bahasa lisan (berbicara) yang baik dengan memberikan sentuhan gaya (seni) di dalam penyampaiannya dengan tujuan untuk mengikat/menggugah hati pendengarnya dan mengerti dan memahami pesan yang disampaikannya.

Sabtu, 30 Januari 2016

Analisis vs Analisa = Tentang Kata Serapan dan Imbuhan

By Unknown | At 12.52 | Label : | 0 Comments
Dulu ini pernah jadi hal besar di sekolah. Seperti turun satu ayat dari kahyangan, guru pelajaran Bahasa Indonesia dengan bangganya mengajarkan bahwa "analisa itu salah, yang benar itu analisis." Lalu si kutu buku di kelas akan membawa KBBI terbaru pekan depan dan memastikan bahwa, ya, memang yang benar adalah analisis. Tapi apakah tata bahasa merupakan sesuatu yang harus dicari benar dan salahnya? Saya rasa tidak.
Analisis vs Analisa = Tentang Kata Serapan dan Imbuhan

Pernah saya permasalahkan ini ketika masih SMP. Menurut saya tidak pantas kita menganggap bahwa semua analisa itu salah dan harus diganti jadi analisis. Menurut saya justru itu tidak benar. Tapi tidak, si guru bilang saya salah, seisi kelas bilang saya sok tahu, dan mereka kembali mengimani "agama" analisis dan menuduh saya kafir penganut aliran sesat analisa.

Padahal saya ingin berkata bahwa analisis dan analisa itu sama-sama benar.
Sampai hari ini saya belum melihat kembali apakah tahun ini buku pelajaran Bahasa Indonesia masih mengajarkan tentang tata bahasa atau tidak. Dulu di masa saya sekolah sih tidak, hanya diajarkan kosakata baku dan tanda baca dan cara memahami suatu bacaan. Mari kita anggap bahwa tahun ini masih sama. (Saya akan coba perbarui catatan ini kalau sudah saya periksa kurikulum baru)

Bahasa Indonesia mengenal kata benda dan kata kerja. Istilah sok pintarnya adalah nomina dan verba. Di sinilah letak sanggahan saya terhadap perang Analisis vs Analisa: mereka merupakan nomina dan verba. Lihatlah betapa anehnya jika kita mencari bentuk mana yang "paling baku" padahal ternyata keduanya sama-sama benar. Analisis adalah kata benda. Analisa adalah kata kerja. Selesai perkara. Gencatan senjata. Perjanjian damai. Bubar.

Lantas apa yang terjadi jika keduanya benar? Untuk apa kita mengerti bahwa analisis itu nomina sementara analisa itu verba? Apa pengaruhnya terhadap bahasa Indonesia? Jawabannya, Mas dan Mbak, ada di cara pemakaiannya. Berikut akan coba saya jelaskan.

Benda ini akan kami hantam.
Kalimat barusan memakai kata kerja hantam. Dengan tidak mengacak susunan kalimat, kita bisa buat yang baru:
Benda ini akan kami analisa.
Lihat. Analisa. Karena ia merupakan kata kerja. Justru akan aneh jika kita masih berpegang kepada "yang baku itu analisis" karena kalimat Benda ini akan kami analisis sama anehnya seperti Benda ini akan kami hantaman. Lihat bahwa hantaman merupakan kata benda, sama seperti analisis. Lain halnya bila kita ingin memakai kata benda.
Hantaman ini berasal dari sana.
Analisis ini berasal dari sana.
Tampaknya sudah jelas ya cara pemakaian analisis dan analisa. Ingat bahwa keduanya benar, dan bahwa kitalah yang harusnya bisa memakai mereka dengan baik. Saat butuh kata kerja, gunakan analisa. Saat butuh kata benda, gunakan analisis. Semudah itu.

Bagaimana dengan kata serapan lainnya? Masih ada sintesis vs sintesa, diagnosis vs diagnosa, hipotesis vs hipotesa, dll. Bagaimana dengan mereka? Sejujurnya ini lebih sulit. Ini sulit karena... kita tidak bisa memakai analisis vs analisa sebagai acuan. Kenapa? Menurut edisi ke-3 A Dictionary of Modern English Usage oleh HW Fowler, kata analyze adalah bentuk tidak sempurna dari kata analisize. Tentu saja analisize tidak digunakan di mana-mana, namun kita jadi bisa membayangkan jika yang dipakai secara umum adalah analisize maka serapan di bahasa Indonesia akan menjadi analisisa.

Oleh karena itu, sintesis vs sintesa harusnya menjadi sintesis vs sintesisa. Hipotesis vs hipotesisa. Diagnosis vs diagnosa. Hah? Apa? Kenapa bukan diagnosisa!? Saya mohon maaf, rupanya bahasa Inggris lebih rumit dari yang kita kira. Ini berkaitan dengan asal istilah diagnosis yang berbeda dari sinthesis, hypothesis, analysis. Ia berasal dari gabungan dua kosakata Yunani Kuno: dia dan gnosis. (Oke, beberapa sumber menyebutkan gignoskein, yang sepengetahuan saya masih berhubungan dengan gnosis.) Perhatikan bahwa bagian gnosis ini membuatnya beda dari yang lain ketika mengalami infleksi: diagnostic, vs synthetic hypothetic analytic. Ia tidak berubah menjadi diagnotic. Inilah mengapa ia menjadi diagnose alih-alih diagnosize.

Maka ketika kita ingin memakai kata kerja, gunakan analisa sintesisa diagnosa hipotesisa. Saat butuh kata benda, silakan pakai analisis sintesis diagnosis hipotesis.

_____
Ada kakak cantik di ujung aula yang mengangkat tangan. "Kalau mau dikasih imbuhan, aku mesti pakai apa dong? Menganalisis atau menganalisa?" kata si kakak. Ini pertanyaan bagus, Kak. Ini berkaitan dengan imbuhan, dan sejauh yang saya ingat dulu pelajaran bahasa Indonesia di sekolah hanya mengajarkan cara menulis imbuhan alih-alih cara memakai imbuhan. Iya, bisa saja setelah saya lulus sekolah mulai mengajarkan kembali cara memakai imbuhan, tujuan pemakaian imbuhan, dsb. Di sini saya mencoba untuk mengingatkan kembali.

Imbuhan me- merupakan awalan. Istilah sok pintarnya adalah prefiks. Ia digunakan untuk mengubah kata kerja menjadi kata kerja berkelanjutan. Istilah sok Inggrisnya adalah continuous present tense; colek saya jika salah.

Saya makan nasi.
Saya memakan nasi.

Terlihat bahwa keduanya berbeda. Kata kerja diberi awalan me- untuk menunjukkan bahwa hal tersebut sedang terjadi sekarang. Hasil akhirnya tetap kata kerja. Makan dan memakan sama-sama kata kerja. Sama-sama kata kerja. Kata kerja. Berarti, Kak, jika ingin diberi awalan me-, Kakak harus pilih kata kerja. Bukan, analisis bukan kata kerja. Jadi, yang tepat adalah menganalisa.

Lihatlah betapa anehnya jika kita masih saja menganut "analisis itu bentuk baku dari analisa." Menganalisis sama anehnya seperti memakanan, karena makanan merupakan kata benda.

Tapi Kak, sebenarnya bisa loh terbentuk kata menganalisis. Guna awalan me- tidak hanya agar kata kerja bisa berubah jadi kata kerja lain. Awalan me- bisa juga dipakai ke kata benda dengan makna berubah jadi/seperti.

Dia membatu.

Batu adalah kata benda. Ketika diberi awalan me-, kita jadi tahu bahwa sedang ada yang berubah jadi batu, atau bersikap seperti batu. Dengan ini berarti kita bisa saja menambahkan awalan me- kepada analisis, meski kita jadi harus berpikir jauh karena imajinasi saya pun kurang tinggi untuk memikirkan sesuatu yang bisa berubah jadi sebuah analisis. Mungkin ini:

Lelucon yang dia ajukan di kelas Filsafat kini mulai menganalisis.

"Eh tapi," kata si kakak, "gimana tuh soal memagar, memaku? Kan itu artinya bukan berubah jadi pagar." Satu lagi pertanyaan bagus... yang belum bisa saya jawab. Sebentar. Ada dua kemungkinan untuk hal ini.
  1. Pagar dan paku bisa dianggap sebagai kata kerja, seperti gunting jadi menggunting. Inilah mengapa kita bisa bilang digunting namun tidak bisa bilang dibatu.
  2. Awalan me- dapat berubah-ubah seperti sotong jika bertemu kata benda. Bermakna perubahan di suatu kata, seperti batu jadi membatu. Bermakna perbuatan di kata lain, seperti pagar jadi memagar. Jika benar seperti ini, maka menganalisis bisa dianggap sebagai perubahan atau perbuatan, tergantung keinginan penulis. Namun ini masih menyisakan pertanyaan mengapa membatu tidak bermakna perbuatan.

Saya pusing. Hehe. Kakak sudah puas dengan penjelasan barusan? Mari simpulkan dulu:
me + verba = perbuatan
me + nomina = perubahan
Adapun sisanya masih bisa diperdebatkan atau dicari lagi. Saya akan coba cari rujukan lain untuk memagar memaku menggunting itu.
  • Kita sudah baca perbedaan kata kerja dengan kata benda
  • Kita sedikit mencari perubahan kata (infleksi, colek saya jika salah) dalam bahasa Inggris
  • Kita mengingat kembali tujuan dan makna imbuhan, terutama awalan me-
  • Kita menemukan kejanggalan pada pagar, paku, gunting

Perbedaan Ilmu Pengetahuan Dan Pengetahuan

By Unknown | At 12.23 | Label : | 2 Comments
a.Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge atau dapat juga disebut common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita membahas hakekat ilmu pengetahuan dan perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan dikemukakan serba sedikit tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
Perbedaan Ilmu Pengetahuan Dan Pengetahuan

b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting, karena dengan mempelajari hal tersebut kita dapat mengetahui tahap-tahap perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu saja, tetapi melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode perkembangan.
a) Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai struktur ontologis. Dalam struktur terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt: menunjukkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi: menunjukkan prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda sempurna dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan lain. Perubahan terjadi bila potensi berubah, dan perubahan tersebut direalisasikan.
Gambar 8 : Aristoteles
Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1) Hal Pengenalan
Menurut Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu: (1) pengenalan inderawi; (2) pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang pengenalan rasional dapat mencapai hakekat sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2) Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi (reasoning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan” berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan” (teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode. Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum (pengetahuan universal); (2) deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju fakta-fakta.
b) Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)
Pada periode yang kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan karena adanya perombakan total dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada awal abad 17 sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah Aristoteles adalah berpikir tentang hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang nampak atau apa yang berada di balik fenomena).
Gambar 9 : Gallileo Gallilei
Abad 17 meninggalkan cara berpikir metafisi dan beralih ke elemen-elemen yang terdapat pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian bukan substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu model yaitu memasukkan unsur makro menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang dapat diuji coba secara empiris, sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk itu harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis dan pendekatan eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu pengetahuan bersifat ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak pada prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly and distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak lain berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Suatu yang pasti adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera (mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur, karena ini sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dikemukakan melalui keragu-raguan. Keragu-raguan menimbulkan kesadaran, kesadaran ini berada di samping materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan pihak lain berpijak pada materi juga dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman terhadap fakta, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Gambar 10 : Rene Descartes
Agar dapat memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles yang bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan Aristoteles, namun dalam makalah ini cukup mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk menggambarkan adanya pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

c. Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan
Terdapat beberapa definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan adalah penguasaan lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b) Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang dunia material.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat materi.
c) Ilmu pengetahuan adalah definisi eksperimental.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak hanya hasil/metode eksperimental semata, tetapi juga hasil pengamatan, wawancara. Atau dapat dikatakan definisi ini tidak memberikan tali pengikat yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen dan hasil pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan dapat sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris.
Definisi mempergunakan metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip umum berdasarkan berbagai hasil pengamatan. Definisi ini memberikan tempat adanya hipotesa, sebagai ramalan akan hasil pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga mengakui pentingnya pemikiran spekulatif atau metafisik selama ada kesesuaian dengan hasil pengamatan. Namun demikian, definisi ini tidak bersifat hitam atau putih. Definisi ini tidak memberi tempat pada pengujian pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan logis berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal sehat. Apabila kesimpulan tersebut hanya merupakan akal sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap belum dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari hasil pengamatan, namun haruslah merupakan kerangka konseptual atau teori yang memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini berarti terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli terhadap kerangka konseptual yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah dilakukan penelitian akan percobaan terhadap kerangka konseptual tersebut.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat statis ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan alam semesta di mana kita hidup. Ini berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang bersifat dinamis ekstrim menyatakan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadi dasar munculnya kegiatan lebih lanjut. Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu pengetahuan akan hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut ditutup.
Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau dalil yang berguna bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan kata lain untuk menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Pengertian percobaan di sini adalah pengkajian atau pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Selanjutnya John Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna manfaat, mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga menghasilkan penelitian baru yang pada gilirannya menghasilkan teori baru dan seterusnya – berlangsung tanpa berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak menekankan penerapannya? Seperti yang dilakukan para ahli fisika dan kimia yang hanya menekankan pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam semesta dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi penekanan ilmu pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu pengetahuan itu akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu pengetahuan tidak berorientasi pada penerapannya melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru atau penelitian baru, dan pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli fisika dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan merupakan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common sense). Selanjutnya untuk membedakan hasil akal sehat dengan ilmu pengetahuan William James yang menyatakan hasil akal sehat adalah sistem perseptual, sedang hasil ilmu pengetahuan adalah sistem konseptual (Conant J. B. dalam Qadir C. A., 1995). Kemudian bagaimana cara untuk memantapkan atau mengembangkan ilmu pengetahuan? Berdasarkan definisi ilmu pengetahuan tersebut di atas maka pemantapan dilakukan dengan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang menghasilkan perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya adalah akal sehat yang menghasilkan pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A., 1995). Ini berarti pengetahuan merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan tersebut selanjutnya diterima sebagai masalah untuk diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk teori baru.
Sedangkan Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu pengetahuan (science).
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dalam common sense informasi tentang suatu fakta jarang disertai penjelasan tentang mengapa dan bagaimana. Common sense tidak melakukan pengujian kritis hubungan sebab-akibat antara fakta yang satu dengan fakta lain. Sedang dalam science di samping diperlukan uraian yang sistematik, juga dapat dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga dapat dilakukan pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2) Ilmu pengetahuan menekankan ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku umum tentang suatu hal. Artinya dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam penelitian-penelitian terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan teori yang telah ada yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common sense tidak memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari berbagai fakta yang terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara pengumpulan data bersifat subjektif, karena common sense sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan.
3) Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan, ilmu pengetahuan menjadikan konflik sebagai pendorong untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola eksplanasi sistematik sejumlah fakta untuk mempertegas aturan-aturan. Dengan menunjukkan hubungan logis dari proposisi yang satu dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4) Kebenaran yang diakui oleh common sense bersifat tetap, sedang kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik oleh pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada pengujian melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat diperbaharui atau diganti.
5) Perbedaan selanjutnya terletak pada segi bahasa yang digunakan untuk memberikan penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense biasanya mengandung pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang harus dapat diverifikasi secara empirik.
6) Perbedaan yang mendasar terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah. Dalam ilmu pengetahuan alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah metoda pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial dan budaya juga menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapatkan pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca indera.
Gambar 11 : Ernest Nagel
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.

d. Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan
a) Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Agar dapat diuraikan proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah, perlu terlebih dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan tersebut telah diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa Metode Ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif (Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus sestematik dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan bagian utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara mengorganisasikan dan menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi peranan metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada dasarnya merupakan bagian yang penting dari metode ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan ilmiah menyajikan cara-cara pengorganisasian dan penginterpretasian hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan ilmiah merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini peranan metode ilmiah penting yaitu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan metode induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus, dalam rangka penelitian, penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, baik metode induktif maupun deduktif sama-sama penting. Walaupun fakta-fakta empirik itu penting peranannya dalam metode ilmiah namun kumpulan fakta itu sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994). Jadi jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau kumpulan fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena fakta-fakta empirik itu sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta tersebut harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi berdasarkan metode yang berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas merupakan prinsip utama dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu sosial berhubungan dengan kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya sehingga tidak terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti dengan pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif yaitu membebaskan dirinya dari sikap, keinginan, kecenderungan untuk menolak, atau menyukai data yang dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap netral, yaitu dalam melakukan penilaian terhadap hasil penemuannya harus terbebas dari nilai-nilai budayanya sendiri. Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas data yang dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan kebenaran universal (Suparalan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a) Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya.
b) Definisi-definisi yang dibuat adalah benar dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku.
c) Pengumpulan data dilakukan secara objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode penelitian ilmiah yang baku.
d) Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan ulang oleh peneliti lain bila sasaran, masalah, pendekatan, dan prosedur penelitiannya sama (Suparlan P., 1994).
b) Metode Penelitian Ilmiah
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah untuk ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu: (1) pendekatan kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1) Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang dikembangkan pertama kali oleh Emile Durkheim (1964). Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai benda, seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam.
Gambar 12 : Emile Durkheim
Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati sesuatu fakta sosial, untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan pengguna model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan P., 1997).
2) Pendekatan Kualitatif
Landasan berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya gejala-gejala sosial, tetapi juga dan terutama makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan Erklaren atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan P., 1997).
◄ Posting Baru
 

Copyright © 2016. Massappa Padissengeng - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Blog Bamz